Simplicity – Patience – Compassion

Cara Pembacaan Mantra

Percakapan ini terjadi di bulan januari 2001. Pada suatu kesempatan di bulan janurai 2001, saya mengajak anak saya Winny dan Fadie, berserta keponakan saya Tara dan Indra. Tara telah berumur 8 tahun dan di kelas 3, Winny dan Indra berumur 6 tahun di kelas 1, sedangkan Fadie baru berumur 4 tahun. Kedua keponakan saya, Tara dan Indra, memiliki kebiasaan sejak kecil memanggil saya ‘Dady’.

“Tara, kamu harus terus rajin membaca. Membaca sangat baik, agar selalu pintar.” kata saya.

“Iya dady, Saya suka membaca.” Jawabnya.

“Kamu terakhir baca apa ?” tanya saya lebih lanjut.

“Buku cerita, pinjam dari library sekolah.”

“Sudah selesai belum membacanya ?”

“Sudah, Tara sudah habiskan selama dua hari, daddy.” katanya.

“Berapa halaman ?” tanya saya.

“Lebih dari 300 halaman, dady.” kata Tara.

Tiba-tiba Winny memotong,

“Cece, kamu haus engga ?” tanya Winny tiba-tiba, dengan raut muka sedikit kebingungan.

Mendengar pertanyaan yang polos dan melihat raut wajah Winny yang sedemikian lucunya karena kebingungan. Saya dan Tara langsung tertawa terbahak-bahak. Sedangkan, Winny dan Indra tampak semakin bingung melihat yang lainnya tiba-tiba tertawa. Mereka hanya saling melirik, tidak mengetahui apa yang harus ditertawakan.

Winny dan Indra yang berada dikelas 1, hanya mengetahui bahwa kalau gurunya menyuruh mereka membaca. Maka mereka harus membacanya dengan suara keras dan jelas. Sehingga di dalam benak mereka, membaca buku berarti harus bersuara keras dan jelas.

Ketika guru Winny dan Indra menyuruh mereka membaca hanya dua halaman saja, sehabis membaca rasanya capai dan haus.Apalagi kalau mereka harus membaca 300 halaman, mereka tidak dapat membayangkan betapa capai dan hausnya Tara yang harus membaca 300 buku selama dua hari.

Ketika mendengar Tara mengatakan lebih dari 300 halaman yang telah dibacanya, Winny langsung membayangkan betapa capai dan hausnya Tara bila harus membaca 300 halaman. Inilah yang membuat bingung Winny, sehingga Winny menanyakan pertanyaan tersebut kepada Tara.

Kejadian ini mengingatkan saya kembali kepada permasalahan yang dihadapi banyak umat dalam membaca mantra. Dimana saya banyak sekali ditanyakan bagaimana caranya membaca mantra yang baik dan benar. Saya melihat permasalahan membaca buku oleh Winny, hampir mirip dengan permasalahan membaca mantra oleh para umat.

Para umat yang baru belajar membaca mantra harus memulainya seperti seorang anak kelas 1 yang belajar membaca. Setiap suku-kata mantra, harus dibaca dengan nada perlahan dengan bersuara jelas. Hal ini sangat penting untuk memahami satu-persatu makna dari suku kata mantra yang kita lafalkan, dan untuk menemukan nada dan irama mantra yang sebenarnya. Sehingga dirinya dapat benar-benarn memahami makna dari mantra yang kita ucapkan, dan terbiasa dengan suatu nada dan irama yang sesuai dengan diri kita sendiri.

Harus dipahami bahwa nada dan irama dalam diri setiap mahluk tidak akan sama. Perbedaan ini tergantung dari tingkat pencapaian masing-masing para mahluk. Dilain kesempatan, bila telah waktunya dan diizinkan oleh Bunda Mulia. Saya akan mencoba membuka rahasia nada dan irama mantra, inilah yang dinamakan Nyanyian Semesta Alam atau Kidung Alam dalam ajaran Tao.

Dengan mencoba mengikut nada dan irama dari seorang guru, adalah salah satu cara yang baik untuk mempercepat kita menemukan nada dan irama mantra yang sebenarnya. Tetapi harus dipahami, bahwa nada dan irama seorang guru belum tentu sesuai dengan diri kita. Jadi, jangan anda berpikir untuk mengcopy 100% nada dan irama guru anda.

Walaupun anda dapat melafalkan mantra 100% persis seperti guru anda, hal ini tidak akan bermanfaat bila anda tidak memahami makna dan intisari mantra yang sebenarnya. Ingatlah bahwa anda bukan seekor burung beo, yang pandai mengulang tetapi tidak memahami apapun.

Saya pernah melihat dan mendengar seekor burung beo, milik seorang umat di Bandung. Burung beo ini sangat pandai mengucapkan berbagai mantra dengan jelas dan merdu. Menurut saya pribadi, burung beo ini tetap tidak akan mendapatkan berkah khusus apapun dari pembacaan mantra. Berkah yang didapat hanya sebatas pada membuat orang yang mendengarnya menjadi bahagia.

Seekor burung beo yang dapat mengucapkan berbagai mantra, dan seekor burung beo yang pandai mengucapkan kata-kata makian. Kedua burung beo itu sama-sama tidak mengetahui apa yang diucapkannya. Perbuatan yang tidak diketahui dan tidak disadarinya, tidak akan menghasilkan karma apapun.

Tahap kedua. Bila telah dapat memahami makna dari setiap suku-kata mantra yang dilafalkan, serta telah menemukan nada dan irama yang sesuai dengannya. Para umat dapat melafalkan mantra di dalam hati. Tujuan utama pembacaan mantra di dalam hati pada tahap ini, agar kita dapat lebih bebas dan lebih banyak lagi membaca mantranya. Serta untuk mencegah rasa haus, seperti yang anak saya (Winny) khawatirkan.

Walaupun melafalkan mantra dalam hati, tetapi kita harus tetap memahami setiap suku-kata mantra yang dilafalkan, serta menjaga nada dan irama yang sama seperti kita mengucapkannya dengan bersuara. Inilah yang harus dijalankan dalam tahap kedua ini. Janganlah kita melafalkan mantra dalam hati, tetapi kita tidak memahami setiap suku-kata mantranya. Hal yang demikian, tidak akan bermanfaat apapun.

Pada tahap ketiga. Bila kita telah terbiasa melafalkan mantra dalam hati dengan tetap terbiasa memahami makna serta nada dan irama yang baik, maka kita mulai mempercepat tempo pelafalan mantra. Tempo yang paling umum dilakukan adalah melafalkan 1 mantra setiap menarik nafas, dan melafalkan 1 mantra setiap menghembuskan nafas. Hal yang terpenting, kita harus tetap memahami makna mantra serta menjaga nada dan irama yang serasi walau dalam tempo yang lebih cepat.

Pada tahap keempat. Kita mulai melakukan pelafalan mantra secara satu kesatuan. Dimana ketika kita melafalkan mantra dalam hati, mantra yang kita lafalkan tidak lagi persuku-kata, dan makna yang kita pahami tidak lagi timbul secara persuku-kata. Kita bagaikan melafalkan satu-kesatuan mantra, yang tidak lagi terdiri dari kumpulan suku-kata. Kita akan memahami maknanya sebagai satu kesatuan mantra, yang tidak lagi terdiri dari kumpulan makna dari banyak suku-kata.

Pada tahap keempat ini, sangat sulit sekali dicapai. Sekiranya bimbingan seorang guru yang telah mencapai, sangat dibutuhkan untuk mencapai tahap yang demikian. Saya akan memberikan sedikit gambaran dalam pencapaian didalam tahap keempat ini.

Pada sebelum tahap ke-empat, apa yang kita lafalkan bagaikan kita sedang melafalkan kalimat dalam hati “Buah Apel Merah”. Didalam hati, kita melafalkan satu persatu “Bu..ah..A..pel…Me…rah”, serta memahami satu persatu akan makna kata ‘buah’, makna kata ‘apel’, makna kata ‘merah’.

Hal ini bagaikan kita melihat secarik kertas, yang bertuliskan kalimat yang terdiri dari huruf-huruf ‘Buah Apel Merah’. Lalu kita mulai membaca satu persatu, kata ‘buah’ dan benak kita memahami makna kata ‘buah’ ini, kata ‘apel’ dan benak kita memahami makna kata ‘apel’, kemudian kata ‘merah’ dan kita memahami makna kata ‘merah’. Kemudian kita mengetahui satu kesatuan sebagai kata ‘buah apel merah’, dan kita mulai memahami makna tulisan ‘buah apel merah’ sebagai satu kesatuan.

Pada tahap keempat, apa yang kita lafakan bagaikan melafalkan gambar sebuah ‘buah apel merah’, dan makna yang kita pahami bagaikan melihat ‘buah apel merah’. Hal ini dapat saya umpamakan, bagaikan sedang melihat sebuah foto ‘buah apel merah’. Di benak kita langsung timbul gambar buah apel, dan kita langsung memahami akan makna buah apel merah yang sebenarnya. Semua proses melaflalkan hingga memahami gambar “Buah apel merah” di dalam kesadaran, timbul sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Sulitnya pemahaman dan pencapai pada tahap keempat ini, sehingga timbul berbagai cara lainnya diantara tahap ketiga dan tahap keempat. Cara-cara lainnya ini, tidak dapat saya jelaskan satu-persatu untuk menghindari kebingungan para umat lainnya. Cara-cara lainnya ini akan saya berikan sesuai dengan kebutuhan dan pencapaian setiap umat, karena setiap umat biasanya akan memiliki kendala dan permasalahan yang berbeda-beda.

Walaupun masih ada tahap selanjutnya, yaitu tahap kelima. Sementara ini tidak dapat saya ungkapkan secara umum, tetapi hanya dapat saya ungkapkan bagi mereka yang benar-benar telah mencapai tahap keempat dengan sempurna. Hal ini untuk mencegah para umat yang cenderung untuk langsung merasa bangga, karena telah berhasil menguasai pembacaan mantra.

Bagi para umat yang memang berniat melakukan pembinaan spiritual dengan cara pembacaan mantra ini, saya ingatkan kembali bahwa untuk mencapai tingkat keempat bukanlah suatu pembinaan yang mudah. Tetapi bila kita telah memiliki dasar pembinaan yang kuat dari tingkat pertama hingga tingkat ketiga. Pencapaian tingkat keempat akan mudah dipahami dan dicapai. Bila telah mencapai tingkat keempat dengan sepenuhnya, maka pencapaian tingkat kelima tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Hanya dengan pencapaian tingkat keempat, hal ini dapat membantu dalam pembinaan spiritual lainnya. Seperti dalam meditasi pembayangan atau meditasi visualisai para mahluk suci. Gunakan cara tingkat keempat, sehingga apa yang kita bayangkan bagaikan kita melihat dan merasakan mahluk suci tersebut berada dihadapan diri kita atau bersatu dan menyatu dalam diri kita.

Dan masih banyak lagi manfaat dari pencapaian pembinaan pembacaan mantra, dalam membantu pembinaan spiritual lainnya.