Simplicity – Patience – Compassion

Kerajaan Yang Tersihir

Kisah ini saya dapatkan ketika utusan Bunda Mulia, Bodhisattva Danau Biru menurunkan ajaran khusus kepada saya di Hua Lien. 

Pada suatu masa beberapa kalpa yang lampau, terdapat sebuah kerajaan yang sangat makmur karena dibimbing oleh seorang raja yang bijaksana dan murah hati. Seluruh rakyat sangat mencintai sang raja, bahkan ada pula yang memujanya sebagai titisan dari dewata. Segala pujian dan penghargaan selalu dibicarakan oleh banyak rakyat tanpa habisnya.

Mengetahui kebaikan dan kebijaksanaan raja itu, Bunda Mulia mengutus salah satu Bodhisatva dari Sorga Danau Biru (Jade Pond Paradise) untuk memberikan suatu Ajaran Kebijaksanaan Sejati kepada sang raja. Lalu Bodhisatva memutuskan untuk membuat seluruh rakyat dan penghuni istana berkata kebalikan dari apa yang dimaksud kecuali sang raja sendiri. Pada awalnya raja ini belum menyadari sepenuhya apa yang terjadi, dia hanya merasa sedikit aneh atas tingkah laku pengawalnya.

“Pengawalku kemari.” Kata sang raja, ternyata pengawal yang dipanggil tersebut pergi meninggalkannya, bukan datang mendekati seperti yang dikehendakinya.

Setiap sang raja memanggil pengawalnya, pengawal yang dipanggilnya selalu meninggalkannya. Rajapun bingung karena segala yang di ucapkan, selalu dilakukan sebaliknya oleh para pengawalnya. Diapun memutuskan untuk melihat keadaan diluar istana, dan ternyata seluruh rakyat berbuat sama seperti para pengawalnya.

Sang raja merasa bahwa seluruh orang di negerinya telah menjadi gila, bahkan keluarga dan permaisurinya juga telah berubah. Sang raja sangat bersedih hati karena seluruh orang di negerinya terserang wabah penyakit gila.

Sementara itu, seluruh pengawal dan menteri-menterinya mulai merundingkan untuk mencari pengganti sang raja. Mereka menggangap raja mereka telah menjadi gila. Dan banyak rakyat yang mulai mendukung rencana para menteri untuk mencari pengganti sang raja. Mereka yang sebelumnya menghormati sang raja ini, telah mulai menyingkirkan patung dan gambar sang raja. Mereka takut tertular penyakit dan menjadi gila apabila masih menyimpan patung dan gambar sang raja.

Hanya dalam beberapa hari seluruh rakyat tidak lagi mengingat akan kebaikan dan kebijaksanaan sang raja selama bertahun-tahun. Mereka sekarang hanya membicarakan tentang sang raja yang telah menjadi gila. Sang raja menyadari bahwa seluruh penghuni istana dan rakyatnya mulai menjauh darinya. Sang raja akhirnya hanya mengucilkan diri di dalam kamarnya, bahkan dirinya memutuskan untuk tidak ingin bertemu dengan permaisuri dan para pejabat istana lagi.

Pada suatu pagi, sang raja secara dam-diam menyelinap ke taman istana untuk berjalan-jalan menikmati bunga-bunga dan embun pagi. Pada kesempatan ini bodhisatva dari Sorga Danau Biru menjelmakan dirinya menjadi seorang nenek tua, lalu menemui sang raja di taman istana.

“Paduka, mengapa paduka tampak sangat bersedih hati” tanya nenek tua.

“Nenek, aku sangat bersedih karena seluruh orang dinegeriku telah menjadi gila. Mereka yang dahulu begitu hormat padaku bahkan hingga memujaku sebagai titisan dewata, mendadak berubah menjadi takut dan menjauhi diriku. Mereka benar-benar telah lupa akan kebaikanku selama ini.” kata sang raja dengan sedih.

“Mereka tidak tahu budi, semuanya gila !!!” teriak sang raja dengan keras.

“Paduka, bilamana paduka menganggap mereka semua telah gila. Bagaimana pandangan mereka terhadap paduka sekarang ?”

“Nenek tua, seluruh orang menganggap diriku gila. Padahal, mereka yang gila semuanya. Dasar gila !!!” kata sang raja dengan emosi yang meluap.

“Mohon maaf paduka, apakah mungkin seluruh rakyat mempunyai pandangan salah dan hanya paduka sendiri yang benar ?”

“Ha…ha…ha….. Nenek tua. Bagaimana dengan dirimu sendiri. Tampaknya hanya engkau yang tidak gila seperti lainnya. Hanya engkau yang mengerti perkataanku sekarang.” Kata sang raja sambil tertawa.

“Maaf paduka, hamba ini hanyalah seorang nenek tua yang gila.”

“Engkau mengaku sebagai nenek tua yang gila ?” tanya sang raja dengan kebingungan.

“Benar paduka. Hamba hanyalah seorang nenek tua yang benar-benar gila.”

“Kalau begitu, diriku………” kata sang raja dengan bingung.

“Maaf paduka, Apakah paduka sebagai raja yang normal dari negeri yang gila, ataukah paduka sebagai raja yang gila dari negeri yang normal ?”

Sang raja masih diam bingung memikirkan ucapan nenek tua.

“Paduka, Apakah paduka juga mempertimbangkan untuk untuk menjadi raja gila di negeri yang gila ?” Tanya sang nenek sambil menghilang dari pandangan bersama suara hembusan angin yang bertiup.

Sang raja lalu tersadar, tetapi dia tidak melihat nenek tua lagi. Diapun bingung apakah sang nenek ini benar-benar muncul dihadapannya tadi ataukah hanya dirinya yang sedang melamun.

Pertentangan yang kuat muncul didalam dirinya, antara kehadiran sang nenek sebagai hal yang nyata ataupun tidak nyata, antara sadar dan lamunan, dan antara gila dan tidak gila, dan juga pertentangan siapakah sesungguhnya yang gila.

Tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang sehingga sebuah apel kecil yang belum matang terjatuh menimpa kepala yang raja. Sang raja terhenti seketika dari kebingungan dan lamunannya. Tampak sebuah apel merah yang telah masak dihadapannya. Sang raja memungut buah apel merah yang menimpa kepalanya tadi, lalu dibersihkannya apel tersebut dari kotoran yang melekat.

Kemudian digigitnya apel tersebut. Tiba-tiba sang raja menghentikan gigitan pertamanya, tampak mendadak wajah sang raja menjadi tersenyum cerah dengan penuh keyakinan. Tidak lagi tampak kecemasanan dan ke bingungan di wajahnya seperti sebelumnya. Tampak ada suatu hal misterius sehingga sang raja mendadak menjadi percaya diri dan yakin akan kebenarannya keputusannya selanjutnya.

Keputusan sang raja tidak dapat saya lanjutkan dengan dasar untuk mencegah salah pengertian dalam membina ajaran Dharma Bhodisatva Danau Biru. Kelanjutan kisah ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah membina dan memahami Ajaran Dharma Sang Bhodisatva Danau Biru.

Bilamana saya terus melanjutkan dan menjelaskan dengan keterbatasan kata-kata tulisan saja, semua ini tidak dapat menggambarkan apa yang dimaksud dengan intisari ajaran Dharma Bodhisatva Danau Biru yang diutus oleh Bunda Mulia. Intisari ajaran yang sebenarnya jauh melampaui konsep pikiran, perkataan dan bahasa yang ada.

Selanjutnya, saya mengajak para pembaca untuk mamahami dan merenungkan lebih jauh kisah ini. Dimana kisah ini sebenarnya masih terus berlanjut dan dialami sendiri oleh para mahluk di dalam kehidupan setiap saat.

Pada kehidupakan sehari-hari, kadangkala para mahluk bertindak sebagai sang raja dan kadangkala juga bertindak sebagai rakyat seperti dalam cerita tersebut. Bukankah kehidupan yang kita jalani secara tidak langsung sama seperti cerita tersebut.

Sesungguhnya setiap pembaca dapat melanjutkan cerita sesuai dengan kehidupannya masing-masing.

Saya hanya dapat mendoakan, Semoga Intisari Ajaran Dharma Bodhisatva Danau Biru dapat terungkap kembali dari salah satu pembaca dikemudian hari.